animasi

Senin, 16 Januari 2017

Takhali, Tahali and Tajali



PROSES TARAQQI DALAM TASAWUF
(Takhally, Tahally dan Tajally)
Oleh : Adelina Nur Hidayah
A.      PENDAHULUAN
Tasawuf ialah memilih jalan hidup secara zuhud dan menjauhkan diri dari perhiasan hidup dalam segala bentuknya. Dalam pandangan sufi, manusia cenderung kepada hawa nafsunya. Manusia dikendalikan oleh nafsu, bukan manusia yang mengendalikan nafsu. Itulah sebabnya untuk memasuki kehidupan tasawuf, seseorang harus menguasai nafsunya agar tidak sampai membawa pada kesesatan.
Pengertian Tasawuf menurut istilah dirumuskan dengan berbagai macam definisi. Ada yang menyatakan bahwa intisari tasawuf ialah kesadaran akan adanya komunikasi dan dialaog antara ruh manusia dengan Tuhan dengan mengasingkan diri dan berkontemplasi. Kesadaran berada dekat dengan Tuhan itu dapat mengambil bentuk Ittihad (Bersatu dengan Tuhan).[1]
Tasawuf dianggap mengandung ajaran yang melemahkan etos kerja misalnya dalam Tasawuf ada yang disebut wara (menjauhi perbuatan dosa), zuhud (hidup sederhana), qana’ah (merasa puas dengan apa yang dimiliki). Ditambah lagi dengan kebiasaan memabaca wirid, zikir dan doa yang menita banyak waktu, sehingga menyita banyak waktu, sehingga mengurangi kesempatan untuk mencari uang.
Memang Tasawuf memiliki ajaran seperti itu, tetapi tidak dimaksudkan supaya menjadi orang yang malas, tidak disiplin dan tidak bekerja keras. Ajaran tasawuf itu bertujuan agar tidak mencari uang dengan cara yang haram, lupa dengan ajaran agama setelah kaya atau menyesali Tuhan ketika hidup miskin.[2]
Adapun  langkah – langkah yang harus ditempuh. Pertama, Apa yang di maksud dengan Taraqqi dalam Tasawuf? Kedua, Apa yang dimaksud dengan Takhally, Tahally dan Tajally? Ketiga, bagaimana proses Takhally, Tahally dan Tajally itu terjadi? Keempat, Apa manfaat dari itu semua? Berikut pembahasannya:



B.       PEMBAHASAN

1.      Pengertian Tarraqi
Taraqqi(Pendakian) yaitu proses pengenalan Allah, melalui belajar dan latihan.[3] Apabila manusia mampu mengisi hatinya (setelah dibersihakan dari sifat – sifat tercela) dengan sifat – sifat terpuji, maka ia akan menjadi cerah dan terang, sehingga dapat lagi mendapat cahaya Ilahi.[4]
Untuk merehabilitis sikap yang tidak baik, menurut orang sufi tidak akan berhasil apabila terapinya hanya dari aspek lahiriah saja. Itulah sebabnya, pada awal memasuki kehidupan tasawuf, seorang muris harus melakukan amalan dan latihan kerohanian yang cukup berat. Tujuannya adalah untuk mengendalikan hawa nafsu,menekannya sampai titik terendah.[5]
Pada dasarnya iman seorang dikatakan tidak sempurna kalau tidak disertai dengan pelaksanaan ibadah, amal saleh, dan akhlak mulia. Pemahaman seperti ini merupakan pendekatan sufistik. Sebab ilmu kalam atau teologi Islam hanya membiarkan iman, dan fiqh Islam hanya membicarakan aspek hukum dalam hubungan manusia dengan Tuhan.
Adapun kolerasi etos kerja dengan Tasawuf adalah merupakan pancaran dari sikap hidup mendasar pemiliknya terhadap kerja. Etos kerja tidak terbentuk oleh kualitas pendidikan dan kemampuan semata.
2.      Pengertian Takhally
Yang dimaksud dengan Takhally itu sendiri ialah mengosongkan diri dari sikap ketergantungan terhadap kelezatan hidup duniawi dengan cara menjauhkan diri dari maksiat dan berusaha menguasai hawa nafsu. Takhally (membersihkan diri dari sifat tercela) oleh sufi di pandang penting karena semua sifat-sifat tercela merupakan dinding-dinding tebal yang membatasi manusia dengan Tuhannya. Oleh karena itu, untuk dapat mendalami tasawuf seseorang harus mampu melepaskan diri dari sifat tercela dan mengisinya dengan akhlak-akhlak terpuji untuk memperoleh kebahagiaan yang hakiki.[6]
Dalam tarekat Naqsyabandiyah ada 3 (tiga) metode yaitu takhalli, tahalli, dan tajalli.Langkah pertama yang harus dilakukan pengamal tarekat atau salik adalah taubat dan istighfar dari dosa besar maupun dosa kecil. Taubat dan istighfar bagi sisalik ibarat suatu fundamental pada suatu bangunan atau ibarat akar dari sutu pohon.Tidak mungkin jadi pengamal tarekat tanpa taubat nasuha dan istighfar yang sungguh-sungguh dihayati dan dilaksanakan. Pembersihan dan pengosongan diri  rohani dari segala dosa dan noda, dari segala sifat buruk  dan tercela, menghentikan segala perbuatan fakhsayak dan mungkar yang merusak, dan seterusnya , itulah kajian yang dinamakan takhalli.

Setelah melaksanakan takhalli tindakan selanjunya adalah mengisi tempat yang kosong itu dengan amal-amal yang saleh, yang digerakkan oleh sifat-sifat yang terpuji, yang tumbuh dari hati atau dari rohani yang telah bersih tadi.

Mensucikan diri jasadi dan diri rohani harus simultan dan serentak. Dosa yang dilakukann oleh jasadi, kita namakan dosa lahir, sedangkan dosa yang dilakukan oleh rohani kita namakan dosa batin, sedangkan perbuatan itu sendiri kita nama kan maksiat batin dan maksiat lahir, karena itu mensucikannya harus secara lahir dan batin.

a.        Mensucikan Diri Dari Dosa lahir
Maksiat lahir adalah segala perbuatan yang dikerjakan oleh anggota badan manusia yang merusak diri sendiri atau orang lain, yang menimbulkan pengorbanan yan berbentuk benda, pikiran atau perasaan.

Pada garis besarnya ada 7 (tujuh) anggota badan manusia yang kalau dimanfaatkan untuk kebaikan maka dia merupakan rahmat dan nikmat, tetapi kalau dilaksanakan untuk kejahatan maka dia merupakan kedurhakaan dan kekufuran.
Ketujuh anggota itu adalah:

1)      Mata
Mata seharusnya digunkan untuk melihat alam ini sebagai bukti adanya tuhan, tidak untuk meliahat yang haram.

2)      Telinga
Telinga seharusnya digunakan untuk mendengarkan ajaran-ajaran agama,untuk memaslahatkan hidup didunia dan diakhirat, tidak mendengar sesuatu yang mendorong kepada maksiat.

3)      Mulut
Mulut seharusnya digunakan untuk perbuatan baik dan bermanfaat.Tidak untuk mengatakan perkataan-perkataan yang tidak baik, berdusta, dan seterusnya.

4)      Tangan
Tangan seharusnya digunakan untuk hal-hal yang bermanfaat, baik untuk diri sendiri maupun masyarakat, bukan dipergunakan untuk merusak.

5)      Kaki
Kaki seharusnya digunakan untuk mencari rezeki yang halal dan mengerjakan ibadah, tidak untuk mencari rezeki yang haram dan berbuat maksiat.

6)      Perut
Perut seharusnya diisi dengan makanan yang halal dan baik, tidak diisi dengan makanan yang haram, untuk berbuat maksiat.

7)      Kemaluan
Kemaluan seharusnya digunakan untuk mencari keturunan melalui menikah, tidak digunakan untuk memuaskan syahwat dengan berzina dengan menghancurkan kehidupan bermasyarakat.

Syekh Amin Al – Kurdi mengatakan maksiat dan dosa lahir ini perbuatan-perbuatan yang tercelah(Azab). (Amin AL- Kurdi 1994 : 389-390).

b.      Mensucikan Diri Dari Dosa Batin
Maksiat batin yang menimbulkan dosa batin adalah sangat berbahaya, karena dia tidak terlihat dan berada pada diri manusia itu sendiri. Maksiat batin inilah yang menimbulkan dan membangkitkan maksiat lahir yang berbentuk kejahatan, kejahatan yang dilakukan oleh anggota-anggota badan lahir.Maksiat batin tumbuh dan berkembang oleh sebab jarang disucikan atau tidak pernah disucikan.

Syekh Amin Al-Kurdi mengatakan bahwa maksiat batin itu sebagai sifat-sifat yang tercelah dan itu merupakan najs-najis maknawiyah yang tidak mungkin orang mendekatkan diri kepada Allah swt sebelum disucikan.
Pusat dari segala sifat yang tercela tadi adalah hati nurani atau dari hati nurani manusia itu sendiri

Cara mensucikan / memberantas maksiat batin yang menimbulkan dosa batin adalah dengan berzikir pada 7 (tujuh) tempat Latifal, yaitu : latifal qalbi, latifal ruh, latifal sir, latifatul khafi, latifatul akhfa, latifat nafsun natikah dan latifatul kullul jasad, cara berzikir pada latifah-latifah itu dan buahnya akan dijelaskan pada bagian zikir lataif.

Mensucikan diri jasadi dan diri rohani harus simultan dan serentak. Dosa yang dilakukann oleh jasadi, kita namakan dosa lahir, sedangkan dosa yang dilakukan oleh rohani kita namakan dosa batin, sedangkan perbuatan itu sendiri kita nama kan maksiat batin dan maksiat lahir, karena itu mensucikannya harus secara lahir dan batin.[7]

3.      Tahally
Tahally disini ialah menghiasi/mengisi dari sifat dan sikap serta perbuatan – perbuatan yang baik.[8] Dengan kata lain, sesudah mengosongkan diri dari sifat yang tercela (Takhally), maka usaha itu harus berlanjut terus ketahap Tahally (pengisian jiwa yang telah dikosongkan tadi).
Tahalli secara harfiah berarti “mengisi” dan “menghiasi” diri atau menyibukkan diri dengan sifat-sifat dan amal-amal terpuji yang digariskan dan ditetapkan dalam syariat Islam.
Pengisian diri rohani dengan sifat-sifat mahmudah dengan kegiatan-kegiatan ‘akhmalush shalihat’  adalah amat penting, karena kesibukan-kesibukan baru, yaitu kegiatan amal kebaikan . Inilah yang dinamakan Inabah artinya kembali kejalan yang hak atau benar, mengganti kebiasaan yang buruk dengan kebiasaan yang baik.
Selanjudnya Syekh Amin Al Kurdi menjelaskan, bukanlah yang dimaksud dengan mengosongkan (takhalli) dari sifat-sifat tercelah dan mengisi tahalli dengan sifat-sifat terpuji itu, menghabiskan atau memusnahkan semua sifat-sifat tercela tadi dan mengganti dengan sifat-sifat terpuji yang baru. Sifat-sifat tercela dan sifat-sifat terpuji, kedua duanya ada tertanam bibitnya pada diri manusia, yang tidak mungkin kita musnahkan secara total dan menggantinya dengan yang baru. Yang dapat dilakukan manusia adalah mangarahkan dan mebentuk suatu sifat kebiasaan terpuji.Sifat sifat tercelah itu ibarat suatu penyakit menahun yang harus terus menerus diobati dibawah pengawasan seorang dokter ahli, sehingga penyakitnya tidak selalu kambuh. Demikian pulavlah halnya untuk mengobati sifat-sifat yang tercela tadi, dilaksanakan dibawah pengawasan syekh Mursyid . (Amin Al Kurdi 1994 : 390-391).

Adapun sikap – sikap yang dapat dibiasakan ialah sebagai berikut:
a.       Tobat
Tobat adalah minta ampunan Allah atas dosa yang pernah dilakukan. Tetapi dalam tasawuf tobat berarti kembali, yakni kembali dari perbuatan tercela menuju perbuatan terpuji, sebagaiman yang di ajarkandalam Islam. Oleh karena itu, tobat tidak cukup hanya dengan ucapan dalam bentuk doa minta ampun, tetapi harus disertai dengan tindakan yang nyata. Tobat adalah cara mendekatkan diri kepada Allah.[9]
Al Ghazali mwngklasifikasi tobat kepada tiga tingkatan[10], yaitu:
1)      Meninggalkan kejahatan dalam segala bentuknya dan beralih kepada kebaikan dan takut akan siksaan Allah
2)      Beralih dari situasi baik ke situasi yang lebih baik lagi.
3)      Rasa penyesalan yang dilakukan semata – mata karena ketaatan dan kecintaan kepada Allah.

b.      Zuhud
Zuhud ialah melepaskan diri dari kehidupan duniawi dengan mengutamakan kehidupan akhirat.[11]
Salah satu ayat yang jelas dalalahnya dan kuat argumentasinya dalam mengafirmasi hal adalah gambaran Allah mengenai dunia sebagai sesuatu yang cepat berubah dan sirna.[12]
اعْلَمُوا أَنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَزِينَةٌ وَتَفَاخُرٌ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِي الْأَمْوَالِ وَالْأَوْلَادِ ۖ كَمَثَلِ غَيْثٍ أَعْجَبَ الْكُفَّارَ نَبَاتُهُ ثُمَّ يَهِيجُ فَتَرَاهُ مُصْفَرًّا ثُمَّ يَكُونُ حُطَامًا ۖ وَفِي الْآخِرَةِ عَذَابٌ شَدِيدٌ وَمَغْفِرَةٌ مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانٌ ۚ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ
Artinya: “Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.”

c.       Cemas dan Harap
Dengan adanya rasa takut akan menjadi pendorong bagi seseorang untuk meningkatkan pengabdiannya dengan harapan ampunan dan anugrah dari Allah.dan takut kepada siksaan Allah dan takut amalnya ditolak oleh Allah. Untuk menyebut rasa takut ada empat istilah yang dipakai dalam Al-Quran dan hadist yaitu Khauf, Khasyyah, Rahbah dan Wajal. Tetapi yang sering dipakai Khauf.[13]
d.      Faqr
Faqr tidak berarti bahwa orang sebaiknya miskin, sehingga seolah – olah tidak harus bekerja keras dalam mencari uang. Tetapi kalau hasilnya tidak mencukupi kebutuhan, maka kenyataan itu harus diterima dengan ikhlas. Faqr yaitu puas dan bahagia dengan apa yang dimiliki.
e.       Ridha
Maksudnya adalah menerima dengan lapang dada dan hati terbuka apa saja yang datang dari Allah.
f.     Muraqabah
Muraqabah bisa diartikan sebagai segala aktivitas yang dilakukan selalu ada perhitungan, seberapa jauh ia dapat menunaikan kewajiban dan sampai dimana ia telah melakukan pelanggaran hukum Allah.



4.      Pengertian Tajally
Tajally dapat dikatakan terungkapnya nur ghaib untuk hati.[14]Ada saat tiba karunia dari Tuhanmu, maka siapkanlah dirimu untuk itu. Oleh karena itu, setiap calon sufi mengadakan latihan jiwa (riyadah), berusaha untuk membersihkan hatinya dari sifat- sifat tercela, mengosongkan hati dari sifat yang keji ataupun dari hal – hal duniawilalu mengisinya dengan sifat – sifat terpuji seperti : Ibadah.
Sudah maklum adanya bahwa kaum sufi juga gemar mendekatkan diri kepada Allah dengan Ibadah ekstra. Hal ini telah di galakan dalam Al – Quran:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada – Ku” (QS. Adz – dzariyat (51): 56)
Menafsirkan ayat ini, Ibnu katsir mengatakan: “Artinya, sesungguhnya, Aku ciptakan mereka untuk Aku perintahkan agar beribadah kepada – Ku.[15]
Pada hakikatnya, baik ajaran Islam yang berkenaan dengan aspek ibadah yang bersifat ritual maupun yang berkenaan dengan aspek muamalah, yang membahas hukum, norma, atau aturan tentang tata cara berinteraksi sosial dengan sesama manusia demi pendekatan diri kepada Allah Swt. Amal Ibadah seperti: Shalat, Zakat, Puasa dan haji. Bertolak dari pandangan ini, maka kaum sufi berupaya melaksanakan ibadah secara optimal dan penuh kesungguhan. Tidak terbatas pada formalitasnya saja. Mereka senantiasa meningkatkan kuantitas dan kualitas segala bentuk ibadah yang mereka amalkan.[16]
Tajalli merupakan kondisi kerohanian yang dapat menyaksikan cahaya penjelmaan yang maha Kuasa dalam Ciptaan – Nya.[17]
Apabila Tuhan telah menembus hati hambanya dengan nur- Nya, maka berlimpah ruahlah Rahmat dan Karunianya. Pada tingkatan ini, hati hamba akan bercahaya terang benderang, dadanya terbuka luas, dan terangkat tabir rahasia alam malakut dengan karunia Rahmat Tuhan tersebut.
tajalli menjadi empat tingkatan
a. Tajalli Af`al, yaitu tajalli Allah pada perbuatan seseorang, artinya segala aktivitasnya itu disertai qudratn-Nya, dan ketika itu dia melihat-Nya
b. Tajalli Asma`, yaitu lenyapanya seseorang dari dirinya dan bebasnya dari genggaman sifat-sifat kebaruan dan lepasnya dari ikatan tubuh kasarnya. Dalam tingkatan ini tidak ada yang dilihat kecuali hannya dzat Ash Shirfah (hakikat gerakan), bukan melihat asma`.
c. Tajalli sifat, yaitu menrimanya seorang hamba atas sifat-siafat ketuhanan, artinya Tuhan mengambil tempat padanya tanapa hullul dzat-Nya.
d. Tajalli Zat, yaitu apabila Allah menghendaki adanya tajalli atas hamba-Nya yang mem-fana` kan dirinya maka bertempat padanya karunia ketuhanan yang bisa berupa sifat dan bisa pula berupa zat, disitulah terjadi ketunggalan yang sempurna. Dengan fana`nya hamba maka yang baqa` hanyalah Allah. Dalam pada itu hamba tekah berada dalam situasi ma siwalah yakni dalam wujud allah semata.
Ahli tasawuf berkata bahwa tasawuf tidak lain adalah menjalani takhalli, tahalli, dan tajalli. Jalan yang ditempuh oleh para Sufi adalah jalan takhalli, tahalli, dan tajalli. Mengosongkan jiwa dari sifat buruk, menghiasi jiwa dengan sifat yang baik dengan tujuan untuk menyaksikan dengan penglihatan hati bahwa sesungguhnya tuhan itu tidak ada, hanya Allah SWT yang Ada, “Tidak ada tuhan (lâ ilâha) selain (illâ) Allah SWT dan Muhammad bin Abdullah adalah hamba, utusan, dan kekasih-Nya.”[18]
5.      Manfaat Takhally, Tahally, dan Tajally
Menghindari sifat buruk dan menghiasi diri dengan sifat mulia dapat mempererat silaturahim dan persaudaraan antar-penganut agama Islam bahkan dengan non-Islam. Justru mungkin itulah tujuan dari takhalli dan tahalli. Itulah yang menjadi inti dari pengamalan tasawuf, yaitu menghindari segala larangan Allah SWT dan hal-hal yang tidak memperoleh cinta-Nya serta menghiasi diri dengan akhlak mulia6. Prof. Dr. Jalaluddin Rachmat (Kang Jalal) berkata, “Dahulukan akhlak di atas fiqh”. Akhlak mulia itulah yang akan menjaga persaudaraan antar-umat manusia.
Apabila dapat mengamalkan tasawuf dengan baik maka dapat mengendalikan emosionalnya dengan baik pula.


Adapun cara untuk memperdalam rasa cinta kepada Allah dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:
a.       Munajat
Adapun yang dimaksud dengan munajat ialah menyampaikan segala keluhan, mengadukan nasib dengan untaian kalimat yang indah seraya memuji keagungan Allah. Hal ini dapat dilakukan sewaktu selesai shalat Tahajud. Latihan dengan ibadah seperti: perenungan, doa dan air mata adalah metode memperdalam penghayatan rasa ketuhanan, sekali berjumpa ingin selalu bersama.
b.      Muraqabah dan Muhasabah
c.       Memperbanyak wirid dan zikir
d.      Tafakkur
e.       Zikrul maut (mengingat kepada Allah akan kematian yang pasti akan terjadi)[19]
Dengan demikian, pada dasarnya mengamalkan Tasawuf bearti mengorientasikan diri lahir – batin dengan berjuang (Mujahadah) seoptimal mungkin agar jiwa kita dekat dengan Allah. Akan tetapi, upaya medekatkan diri kepada Allah Swt. Tidak akan mencapai hasil kalau tidak diawali dengan penyucian jiwa. Sebab, Allah Swt., zat yang Maha Suci tidak akan dapat didekati, kecuali oleh orang – orang yang berjiwa suci pula. Dengan demikian, maka penyucian jiwa itu berdampak pada kedamaian, kebahagiaan dan kesejukan kalbu.








C.     KESIMPULAN

1.      Taraqqi(Pendakian) yaitu proses pengenalan Allah, melalui belajar dan latihan. Apabila manusia mampu mengisi hatinya (setelah dibersihakan dari sifat – sifat tercela) dengan sifat – sifat terpuji, maka ia akan menjadi cerah dan terang, sehingga dapat lagi mendapat cahaya Ilahi.
Untuk merehabilitis sikap yang tidak baik, menurut orang sufi tidak akan berhasil apabila terapinya hanya dari aspek lahiriah saja. Itulah sebabnya, pada awal memasuki kehidupan tasawuf, seorang muris harus melakukan amalan dan latihan kerohanian yang cukup berat. Tujuannya adalah untuk mengendalikan hawa nafsu,menekannya sampai titik terendah.

2.      Yang dimaksud dengan Takhally itu sendiri ialah mengosongkan diri dari sikap ketergantungan terhadap kelezatan hidup duniawi dengan cara menjauhkan diri dari maksiat dan berusaha menguasai hawa nafsu. Takhally (membersihkan diri dari sifat tercela) oleh sufi di pandang penting karena semua sifat-sifat tercela merupakan dinding-dinding tebal yang membatasi manusia dengan Tuhannya. Oleh karena itu, untuk dapat mendalami tasawuf seseorang harus mampu melepaskan diri dari sifat tercela dan mengisinya dengan akhlak-akhlak terpuji untuk memperoleh kebahagiaan yang hakiki.

3.      Tahally disini ialah menghiasi/mengisi dari sifat dan sikap serta perbuatan – perbuatan yang baik. Dengan kata lain, sesudah mengosongkan diri dari sifat yang tercela (Takhally), maka usaha itu harus berlanjut terus ketahap Tahally (pengisian jiwa yang telah dikosongkan tadi).
Tahalli secara harfiah berarti “mengisi” dan “menghiasi” diri atau menyibukkan diri dengan sifat-sifat dan amal-amal terpuji yang digariskan dan ditetapkan dalam syariat Islam.
Pengisian diri rohani dengan sifat-sifat mahmudah dengan kegiatan-kegiatan ‘akhmalush shalihat’  adalah amat penting, karena kesibukan-kesibukan baru, yaitu kegiatan amal kebaikan . Inilah yang dinamakan Inabah.artinya kembali kejalan yang hak atau benar, mengganti kebiasaan yang buruk dengan kebiasaan yang baik.

4.      Tajally dapat dikatakan terungkapnya nur ghaib untuk hati.[20]Ada saat tiba karunia dari Tuhanmu, maka siapkanlah dirimu untuk itu. Oleh karena itu, setiap calon sufi mengadakan latihan jiwa (riyadah), berusaha untuk membersihkan hatinya dari sifat- sifat tercela, mengosongkan hati dari sifat yang keji ataupun dari hal – hal duniawilalu mengisinya dengan sifat – sifat terpuji seperti : Ibadah.
Sudah maklum adanya bahwa kaum sufi juga gemar mendekatkan diri kepada Allah dengan Ibadah ekstra. Hal ini telah di galakan dalam Al – Quran:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka     mengabdi kepada – Ku” (QS. Adz – dzariyat (51): 56)

5.      Menghindari sifat buruk dan menghiasi diri dengan sifat mulia dapat mempererat silaturahim dan persaudaraan antar-penganut agama Islam bahkan dengan non-Islam. Justru mungkin itulah tujuan dari takhalli dan tahalli. Itulah yang menjadi inti dari pengamalan tasawuf, yaitu menghindari segala larangan Allah SWT dan hal-hal yang tidak memperoleh cinta-Nya serta menghiasi diri dengan akhlak mulia6. Prof. Dr. Jalaluddin Rachmat (Kang Jalal) berkata, “Dahulukan akhlak di atas fiqh”. Akhlak mulia itulah yang akan menjaga persaudaraan antar-umat manusia.











REVERENSI

1.      Tebba, Sudirman. 2003. Membangun Etos Kerja dalam Perspektif Tasawuf. Bandung: Pustaka Nusantara Publishing
2.      Djaelani, Abdul Qadir. 1996. Koreksi Terhadap Ajaran Tasawuf. Jakarta: Penerbit Buku Andalan
3.      Ismail, Asep Usman. 2012. Tasawuf Menjawab Tantangan Global. Jakarta: Transhop Printing
4.      Asmaran. 1996. Pengantar Studi Tasawuf. Jakarta: PT RajaGrafindo
5.      An-Naisaburi, Abul Qasim Abdul Karim Hawazin Al-Qusyairi. 2013. Sumber Kajian Ilmu Tasawuf. Jakarta: Pustaka Amani
6.      Hajjaj, Muhammad Fauqi. 2011. Tasawuf Islam dan Akhlak. Jakarta: Amzah
7.      http://komenkcb.blogspot.co.id/2012/03/konsep-takhali-tahali-dan-tajjali.html (diakses pada    tanggal 12  januari 2017)
8.      http://edefinisi.com/tag/pengertian-taraqi (diakses pada 22 November 2016)







[1] Abdul Qadir Djaelani, Koreksi Terhadap Ajaran Tasawuf. (Jakarta: Gema Insani Press), hlm. 14.
[2] Sudirman Tebba, Membangun Etos Kerja dalam Perspektif Tasawuf, hlm. 1.
[3] http://edefinisi.com/tag/pengertian-taraqi (diakses pada 22 November 2016)
[4]  Asmaran AS, Pengantar Studi Tasawuf. (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1996), hlm 71
[5] Ibid., hlm 70
[6] Ahmad Bangun Nasution dan Rayani Hanum Siregar, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: PT. RajaGrafindo    Persada, 2013), hlm. 72.
[8] Ahmad Bangun Nasution dan Rayani Hanum Siregar, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: PT. RajaGrafindo    Persada, 2013), hlm. 73.


[9] Sudirman Tebba, Membangun Etos Kerja dalam Perspektif Tasawuf, (Bandung: Pustaka Nusantara Publishing), hlm. 63.
[10] Ahmad Bangun Nasution dan Rayani Hanum Siregar, Akhlak Tasawuf, hlm. 73
[11] Ibid.
[12] Muhammad Fauqi Hajjaj, Tasawuf Islam&Akhlak,(Jakarta:Amzah), hlm. 27.
[13]Ahmad Bangun Nasution dan Rayani Hanum Siregar, Akhlak Tasawuf, hlm.73

[14]Ahmad Bangun Nasution dan Rayani Hanum Siregar, Akhlak Tasawuf, hlm.74
[15] Muhammad Fauqi Hajjaj, Tasawuf Islam&Akhlak,(Jakarta:Amzah), hlm. 38.
[16] Akhmad Saehuddin, Tasawuf Menjawab Tantangan Global, (Jakarta: Transhop Printing), hlm. 73.
[17] Mahjuddin, Akhlaq Thasawuf I. (Jakarta Pusat: Radar Jaya Offset, 2009), hlm 232
[19] Ahmad Bangun Nasution dan Rayani Hanum Siregar, Akhlak Tasawuf, hlm.74

[20]Ahmad Bangun Nasution dan Rayani Hanum Siregar, Akhlak Tasawuf, hlm.74

3 komentar: